Dari Mijit sampai Ngindik (Mengenang Abah Najib Salimi)




Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Tahun 2002

“Kang, ditimbali Abah!”, tiba-tiba Kang Rozad muncul dari balik pintu kamar.
“Ono opo tho kang?”, tanyaku yang baru saja meletakkan kitab di rak buku. Jam ngaji telah selesai. Malam pukul 23.30 WIB.
“Wes pokoke neng ndalem sek rono! Ndang cepet! Kang Sukri ora ono soale”, jawab Kang Rozad lagi. Aku pun bergegas menuju ndalem diikuti Kang Rozad yang kembali ke dapur untuk menyiapkan wedang. Setelahnya aku baru tahu, kalau Kang Sukri yang biasa memijet Abah Najib sedang tidak ada. Entah, sudah dicari-cari tidak ketemu. Dan ini kali pertama aku menggantikan Kang Sukri untuk memijat Abah.
“Rene cung!”, ujar Abah.
“Njih Bah”.
“Pijeti aku!”.
Lalu dengan tangan agak gemetar dan kikuk ku mulai memijat suku Abah meskipun sebenarnya ku tak benar-benar bisa memijat. Entah terlalu keras atau justru terlalu lembut pinjatanku, aku tak tahu.
Tak jauh dari letak lenggahe Abah, ada tamu yang terus berbincang-bincang dengan Abah. Aku memijat salah satu suku Abah dan tidak berani pindah kalau belum disuruh pindah oleh Abah. Tamu sudah pulang hingga Abah tertidur pun, aku tetap memijat. Tepat adzan subuh berkumandang aku baru keluar dari ndalem sambil menahan rasa kantuk luar biasa. Lelah mataku.
“Kang, ditimbali Abah!”.
Malam berikutnya Kang Rizad mencariku lagi. Dan aku bergegas ke ndalem untuk memijit Abah seperti kemarin malam.
Aktivitas memanggil ini berlangsung hampir beberapa hari sekali. Entah pemanggilan lewat Kang Rozad yang langsung mencariku atau telepon kantor yang berdering tengah malam. Dan dipastikan aku masuk ndalem sudah menunjukkan waktu larut malam yaitu diatas jam 00.00 WIB. Lalu aku akan keluar dari ndalem saat adzan subuh. Begitu seterusnya hingga terbilang sering Abah memanggilku.
  

Nanti malam pasti ditimbali Abah lagi. Ngantuk luar biasa, batinku tiba-tiba protes dengan rutinitas yang menguras tenagaku bahkan tenaga disaat-saat ku telah lelah dan terkantuk sekalipun. Tidak nyaman sekali.
Malam pun tiba kembali. Pukul 23.30 WIB pengajian di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah telah selesai. Santri putra seperti kebanyakannya tidak akan langsung pergi tidur. Tapi segera berkumpul sekedar kongkow sambil ditemani rokok dan kopi hitam pekat. Rutinitasku sama seperti mereka sebelum aku sering dipanggil Abah.
Ku lihat Kang Sukri sedang di parkiran motor. Hendak pergi sepertinya. Aku pun bergegas menghampirinya.
“Kang arep neng ngendi?”
“Arep neng Gamping”.
“Aku melu!”, jawabku mantap.
Sengaja aku ikut Kang Sukri ke daerah Gamping yang ternyata untuk mengambil roti. Gejolak inginku menuntut butuh refreshing sekedar jalan-jalan menghirup udara malam. Namun, sesungguhnya kesengajaanku ini agar aku tidak dipanggil Abah untuk memijat malam ini.
Benar saja!
Malam itu juga Abah mencariku. Malam selanjutnya hingga tiga hari berturut-turut aku tidak ada ketika dicari Abah. Beliau pun mengambil sikap tidak peduli. Mendukani aku pun tidak. Aku jadi merasa tidak apa-apa dan biasa saja dengan kealpaanku memijat beliau. Hampir seminggu berlalu benar-benar tidak ada telpon berdering dari Abah atau Kang Rozad berlari-lari mencariku.
Secara fisik aku merasa senang dan bisa kongkow bersama kang-kange yang lainnya selepas jam mengaji. Rokok dan kopi hitam hangat terasa nikmat menyentuh bibirku. Bila mengantuk pun langsung tidur saja tak perlu di tahan-tahan hingga mata pedih. Begitu hari-hari ku jalani kembali.
Namun, tiba-tiba dibalik ragaku yang sedang bergembira justru yang terdalam seperti menyerngit-nyerngit kesakitan. Sesuatu yang mengganjal dan terasa ganjil di hati. Terasa seperti perasaan tidak tenang. Perasaan tidak tenang karena merasa diacuhkan oleh Abah. Rindu. Mengapa menjadi rindu pada dering telepon tengah malam dari Abah dan derap lari Kang Rozad mencariku? Memanggilku untuk ... “Cung rene!”. “Pijeti aku”.
  

Malam kali ini aku yang menunggu. Menunggu untuk ditimbali Abah. Sesekali aku melonggok sebentar keluar kamar. Siapa tahu Kang Sukri datang mencariku.
“Kang Misbah ditimbali Abah!”, akhirnya Kang Sukri datang.
“Alhamdulillah, maturnuwun Kang!”, aku bersyukur. Ayunan langkah menuju ndalem begitu ku nikmati. Aku bersyukur Abah masih mau memanggilku untuk memijat lagi. Aku bertekad dalam hati untuk selalu siap kapan pun dan jam berapa pun ketika ditimbali Abah, selama aku masih berada di pondok, aku akan langsung bergegas ke ndalem.
Teringat ketika suatu malam aku sedang memijit Abah dan Abah tahu bahwa rasa kantukku tak bisa dikompromi, beliau menelpon Kang Soim.
“Gawe ke’ mie sing pedes Im!”
Setelahnya Kang Soim datang membawa dua porsi mie rebus. Ketika Abah tidak menghabiskan mienya, beliau menyuruhku untuk menghabiskannya. Padahal pedasnya minta ampun dan tak ada minumnya!
Pernah juga aku malu karena ketahuan ngindik dari ndalem. Waktu itu ketika subuh maka aku hendak keluar ndalem. Aku membuka pintu pelan-pelan sekali... karena Abah sampun sare. ‘kreteeek....’ baru saja ku tutup pintu, Abah memanggil.
“Cung arep ngendi?”
Akhirnya aku masuk lagi untuk meneruskan memijit Abah, aku mengira beliau sudah tertidur, eh, ternyata belum. Jadi malu.
Tersadar dari ingatanku yang lalu, ternyata sudah di depan pintu ndalem. Usai ku ucapkan salam lalu aku masuk.
“Cung rene. Pijeti aku!”.
Badanku ku geser mendekati suku Abah. Lalu mulai ku pijat pelan-pelan. Ku lirik Abah yang sedang mutola’ah kitab. Kegiatan ini sering dilakukan Abah ketika aku memijat beliau. Baik kitab Al-fiyyah, Ihya Ulumuddin, disertasi dan lain-lain. Ketika ada tamu yang berkonsultasi mulai dari masalah pribadi, bisnis atau lainnya Abah dalam proses konselingnya atau bimbingannya selalu menggunakan pendekatan religi. Beliau memang sosok kyai yang inspiratif. Aku mengiyakan dalam hati.
Maturnuwun Abah...
  

Sumber cerita :
Misbachul Munir
Santri PP. Al-Luqmaniyyah tahun 2002

Diceritakan kembali
oleh Luthfiana Nawing
Desember 2016

Komentar

  1. Bagus bu blog nya kereen
    Semoga dengan adanya blog ini kita bisa saling berbagi info dan pengetahuan tentang islam yg terus berkembang ini
    Berkah selalu dan Hamazah yah bu😅

    BalasHapus
  2. Wahh inspiratif sekali ceritanya bu👍

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Bagus banget bu, saya juga sering disuruh abah mijitin di rumah :) terima kasih untuk ceritanya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ruang Sapa Online

Berdoalah dengan Menyebut Nama-Nya